Dari 8 Rumusan Pancasila yang 2 Rekayasa Orba

Sepanjang sejarah terdapat 8 rumusan Pancasila, 2 di anta ranya merupakan hasil rekayasa rezim Orde Baru. Ke 6 formula yang tidak direkayasa itu adalah sebagai berikut.

Pertama, Pancasila yang disampaikan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, dengan urutan (1) Kebangsaan Indo- nesia, (2) Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan Sosial, dan (5) Ketuhanan. Bung Karno yang pertama menyebut istilah Pancasila, dan pertama kali pula membahas “dasar negara” seperti yang diminta oleh pimpinan sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan).

Seusai dengan persidangan pertama BPUPK tanggal 1 Juni 1945 dibentuk panitia kecil yang terdiri atas 8 orang, diketuai Soekarno, dengan anggota M Hatta, M Yamin, A Maramis, Otto Iskandardinata, Sutardjo Kartohadikusumo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Wachid Hasyim, untuk menampung masukan dari anggota BPUPK lainnya. Kemudian Soekarno mengubah komposisi tim ini menjadi 9 orang, Soekarno masih ketua, dengan anggota M Hatta, M Yamin, A Maramis, Subardjo, Wachid Hasyim, Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosuyoso.

Panitia 9 ini merumuskan Pancasila pada 22 Juni 1945 (dikenal sebagai Piagam Jakarta) sebagai berikut: (1) Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (2) Menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini merupakan rumusan kedua.

Rumusan ketiga adalah rumusan yang disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerde- kaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan keempat dan kelima adalah Pancasila sebagai bagian dari mukadimah Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Bunyinya sama, yakni (1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Peri Kemanusiaan, (3) Kebangsaan, ( 4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial.

Konsep keenam adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Rekayasa Orde Baru

Konsep rekayasa atau rumusan ketujuh adalah rumusan yang diciptakan Orde Baru dengan menyatakan bahwa M Yamin telah berpidato sebelum Soekarno tentang dasar negara (tanggal 29 Mei 1945). Di dalam buku tipis Nugroho Notosusanto, Naskah Prokla- masi Yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik (terbit tahun 1971) digambarkan rumusan Yamin, yakni (1) Peri-Kebangsaan, (2) Peri-Kemanusiaan, (3) Peri-Ketuhanan, (4) Peri-Kerakyatan, (5) Kesejahteraan Rakyat.

Ini dikutip dari buku M Yamin yang terbit tahun 1959 yang tampaknya ditulis kemudian, artinya pada tanggal 31 Mei Yamin tidak berpidato sepanjang 21 halaman karena waktu yang tersedia hanya 120 menit untuk 7 pembicara. Belum puas dengan mendahulukan Yamin dari Soekarno, pada tahun 1981 (Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Panca- sila Dasar Negara) dibuat lagi rekayasa tambahan dengan menampilkan rumusan Panca- sila ala Supomo yang terdiri atas (1) Persatuan, (2) Kekeluargaan, (3) Keseimbangan Lahir dan Batin, (4) Musyarawah, (5) Keadilan Rakyat. Pidato Supomo tanggal 31 Mei 1945 itu sebetulnya membahas syarat-syarat berdirinya sebuah negara, yakni adanya wilayah, rakyat, dan pemerintahan, bukan tentang dasar negara. Ini bisa disebut formula ke 8.

Dari 8 rumusan Pancasila tadi, dua yang direkayasa oleh rezim Orde Baru jelas palsu, sedangkan ke 6 lainnya adalah otentik. Mana yang kita gunakan? Tentu yang disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 seperti yang kita pakai sekarang. Memang Pancasila dilahirkan tanggal 1 Juni 1945, tetapi perumusannya berlanjut sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Menurut peneliti senior Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, AB Kusuma (Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, 2004), tanggal 22 Juni 1945, axiological hierarchy-nya berubah, nilai moral, yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” diangkat ke atas, dijadikan norma utama (norma normarum).

Setelah disetujui oleh rapat pleno BPUPK yang hanya terdiri atas wakil-wakil dari Jawa, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI yang meliputi wakil-wakil dari seluruh Indonesia mengubah rumusan Pancasila dengan mengurangi “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dan menambahkan “tiga kata” (“Yang Maha Esa”). Jadi, rumusan Pancasila yang sah menurut AB Kusuma adalah rumusan PPKI, rumusan dari wakil-wakil selurah rakyat Nusantara, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Penghilangan “tujuh kata” dan penambahan “tiga kata” merupa kan hasil kompromi para founding fathers dan founding mothers (ada 2 orang anggota perempuan) sekaligus menunjukkan kenegarawanan.

Dewasa ini terdapat istilah “Pancasila 1 Juni” seperti yang digunakan oleh sebagian kelompok nasionalis. Menurut hemat saya, ungkapan itu merupakan protes atau peno- lakan terhadap sejarah Orde Baru yang mereduksi peran Soekarno sebagai penggali Pancasila, dengan menampilkan Yamin dan Supomo seakan-akan telah berpidato tentang dasar negara sebelum Bung Karno. Sangat arif bila Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengeluarkan keputusan presiden menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.

Tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Presiden sebagai Hari Lahir Konstitusi dengan Keputusan Presiden No 18 Tahun 2008. Kenapa tanggal 1 Juni masih ditolak? Pancasila memang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, tetapi Pancasila bukanlah pasal atau ayat konstitusi, melainkan menjiwai, artinya Pancasila berada di atas UUD 1945. [okezone]

Oleh: ASVI WARMAN ADAM, Sejarawan LIPI

 Sumber : Okezone

About kaifa10

Nothing Special about me

Posted on 29 Desember 2011, in Arsipku, Indonesia, Sejarah. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar