SATU DALIL CUKUP SEBAGAI DASAR PERINGATAN MAULID NABI

Oleh : ILham Mushoddiq
Kemeriahan itu sudah terlihat sejak pagi, adik-adik siswa-siswi TPQ di desaku nampak berhias melakukan pawai dalam rangka Peringatan Maulid Nabi tahun ini, berjalan menelusuri jalan-jalan desa yang belum beraspal, sebagian lagi bersepeda pancal dengan hiasan bunga kertas warna warni yang ditempelkan di sepedanya masing-masing. Keceriaan terpancar jelas dari wajah mereka, sama sekali tidak tampak lelah, semua tersenyum ria, meski mentari mulai meninggi dan udara mulai menghangat.
Siang harinya, giliran para pemuda dan pemudi desa yang terjun langsung mendatangi rumah-rumah para kaum dluafa’ dan anak yatim di seluruh pelosok desa, guna untuk menyampaikan santunan, santunan ini berisi paket sembako dan uang tunai sejumlah 150 ribu rupiah. Kegembiraan tampak menyeruak dari keduanya, baik dari yang memberi maupun yang menerima santunan, dan semuanya adalah diniatkan untuk merayakan Maulid Nabi, mengagungkan hari kelahiran Nabi Terbesar.
Dan malam harinya, suasananya begitu terasa berbeda dari hari biasanya, terdengar jelas dari pengeras suara masjid lantunan sholawat dan puji-pujian kepada Sang Nabi, kami biasanya menyebutnya dengan dziba-an. Hampir semua warga kampung berbondong-bondong keluar menuju masjid satu-satunya di desa kami tersebut, dan tak lupa para ibu dan mbak-mbak membawa makanan dan jajanan pasar dari rumahnya masing-masing untuk acara selametan yang biasanya dimulai setelah acara dziba-an usai.
Akan tetapi ketenangan saya sedikit terusik setelah esok harinya saya mendengar salah satu warga desa kami, sebut saja namanya Sugriwo yang memang dikenal nyeleneh dan berbeda faham dengan kebanyakan warga desa, yang mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi yang diadakan warga kami sehari sebelumnya adalah perbuatan bidl’ah dlolalah dan tidak ada dalilnya. Sebenarnya dahulu tidak ada yang aneh dengan pemahaman dia, sama seperti saya dan kebanyakan anak muda yang lainnya, lhawong ngajinya sama-sama saya di masjid, meskipun umurnya 3 tahun diatas saya, guru ngajinya juga sama. Perubahan itu terjadi sekembalinya dia dari merantau selama beberapa tahun ke ibukota Jakarta, penampilannya berubah, memakai jubah, celana cingkrang dan berjanggut, perangainya menjadi keras. Ketika ibunya meninggal, dengan alasan yang sama ia juga menolak diadakan tahlilan 7 hari, 40 hari, 100 hari sebagaimana lazimnya berlangsung di desa kami apabila ada sanak keluarga yang meninggal. Adik-adiknya tidak berani melawan karena ia adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu, apalagi sang ayah telah mendahului ibunya 10 tahun sebelumnya. Ia juga menyebut syirik kepada warga desa kami yang memang gemar pergi ziarah ke wali limo (walisongo yang ada di Jawa Timur). Tidak mau memasang bendera merah putih di depan rumahnya pada setiap perayaan kemerdekaan Bangsa Indonesia hingga tidak mau ikut kerja bakti yang diadakan secara rutin setiap 2 minggu sekali.
Karena risih, saya memberanikan diri untuk mendatangi rumahnya dengan tujuan tabayyun sebagaimana petunjuk Al Quran tentang bagaimana sikap kita ketika mendengar suatu informasi.


Berikut percakapan saya dengan beliau :
(A) untuk Saya (B) untuk Sugriwo

(A) Assalaamu’alaikum
(B) Wa’alaikum salam warohmatulloh
(B) Silahkan masuk akhi!
(A) Nggih kang matur suwun
(B) Ada perlu apa?
(A) Nyuwun perso, apa benar sameyan berkata kepada orang-orang kampung kalau merayakan Maulid Nabi itu Bidl’ah dlolalah dan tidak ada dalilnya?
(B) Ya benar, memang tidak ada dalilnya kan??
(A) Tidak ada dengan belum nemu itu tidak sama kang, mungkin sameyan belum nemu saja tapi bukan berarti sameyan kemudian boleh mengatakan tidak ada. Sepertihalnya sameyan yang sampai sekarang belum nemu jodoh bukan berarti jodoh sameyan tidak ada, mungkin saja masih disembunyikan Gusti Alloh untuk menguji kesabaran sameyan.
(B) Kamu jangan nyinggung urusan pribadiku ya?
(A) Sepurane kang, aku cuma berusaha memberikan contoh yang mudah difahami kalau tidak ada dengan belum ketemu itu lain, seumpama gara-gara sameyan belum ketemu jodoh terus saya bilang kalau jodoh sameyan tidak ada, sudah mati. Kira-kira marah nggak sameyan?
(B) Ya marah akhi.
(A) Terus saya mesti nyebut gimana dengan keadaan sameyan yang masih kerasan menjomblo ini?
(B) Ya sebut saja kalau aku belum ketemu jodoh, gitu aja.
(A) Lha … persoalan maulud Nabi ini juga seperti itu, mungkin saja sameyan belum menemukan dalilnya, tapi sameyan sudah keburu menganggap tidak ada. Padahal belum tentu. Kalau terhadap masalah jodoh sameyan bilang belum ketemu, mestinya persoalan dalil maulid Nabi juga begitu, jadi konsisten.
(B) Kalau memang ada dalilnya Maulid Nabi, mana? Tunjukkan akhi!!
(A) Sepurane kang, aku bukan ustadz, bukan kyai, bukan ulama’ jadi jangan ditanya dalil, bisa pusing aku, lhawong ngajiku ya sama dengan sameyan, cuma sampai juz amma aja.
(B) Aku sendiri berpendapat seperti itu juga karena ajaran ustadzku di Jakarta, yang lulusan universitas di Saudi sana.
(A) Apa ya kalau lulusan Saudi itu mesti benarnya kang?? Sekarang gini aja ya, saya mau tanya tapi tolong jawab dengan jujur ya?
(B) Oke akhi..
(A) Pertama – Semua Nabi itu besar, tapi apakah sameyan percaya kalau Nabi Muhammad SAW.itu adalah Nabi terbesar yang menjadi Rohmat seluruh alam?
(B) Pasti percaya
(A) Kedua – Al Quran itu adalah Kitab induk dari semua Kitab Suci yang pernah diturunkan oleh Alloh Ta’ala dan kitab suci Al Quran diturunkan oleh Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad SAW., percayakah sameyan terhadap hal ini?
(B) Ya pasti percaya lah
(A) Ketiga – Sumber utama ajaran Islam adalah wahyu Ilahi yang diterima Nabi yakni : Al Quran, dan perkataan serta perilaku Nabi, yakni Hadist, sehingga bisa dikatakan Kanjeng Nabi-lah yang membawa ajaran Islam hingga sekarang sampai kepada kita sekarang ini, percayakah sameyan terhadap hal ini?
(B) Ya, Kanjeng Nabilah pembawa ajaran Islam.
(A) Seandainya sameyan tidak dipertemukan dengan Islam, apa yang akan terjadi dengan diri sameyan??
(B) Saya tidak bisa membayangkan, pasti saya akan terjerumus dalam kegelapan dan kesesatan yang nyata.
(A) Jadi setujukah sameyan kalau Islam adalah salah satu anugrah terbesar dari Alloh kepada sameyan??
(B) Pasti
(A) Cukup pertanyaan saya dan terima kasih jawabannya, aku pamit dulu ya??
(B) Lho ini gimana, masalah dalil Maulid Nabi kan belum selesai? (mulai penasaran……)
(A) Sameyan pengen tahu dalilnya ya?
(B) Yaiyalah …
(A) Wani piro?? Sorry kang guyon..
(A) Berhubung ngajiku dulu itu hanya sampai juz amma … maka dalil yang ku ingat ya cuma seputaran juz amma, coba sameyan baca ayat terakhir surat wadluha bunyinya kalau nggak salah Fa amma bini’mati robbika fahaddits artinya “Dan kepada nikmat Tuhanmu maka nyatakanlah” Ayat ini menunjukkan perintah bahwa terhadap setiap nikmat dari Alloh yang kita terima haruslah dinyatakan, dinyatakannya dengan syukur.
(B) Terus hubungannya dengan Maulid Nabi apa ayat ini??
(A) Sameyan tahu apa ni’mat terbesar dari Alloh??
(B) Islam? (sambil mengingat jawaban dia sebelumnya)
(A) Kurang tepat, yang paling benar jawabannya adalah Kelahirannya Kanjeng Nabi
(B) Kok bisa?
(A) Seandainya Kanjeng Nabi tidak dilahirkan, maka tidak akan ada Al Quran dan hadist, dan seandainya tidak ada Al Quran dan Hadist pastilah ajaran Islam itu juga tidak ada dan mungkin sameyan sekarang masih menjadi penganut animisme dinamisme (penyembah roh-roh).
(A) Jika terhadap ni’mat kecil saja diperintahkan Alloh untuk dinyatakan, apalagi ni’mat yang besar????? Saya berlindung kepada Alloh dari kekufuran yang nyata.
(A) Maka ketika kelelawar tidak bisa melihat di siang hari, itu bukan karena sinar mataharinya yang kurang terang, tapi mata kelelawar itulah yang bleleen (sorry gak ketemu padanan kata bahasa indonesianya –bleleen- ada yang bisa bantu?)
(A) Begitu juga dengan orang yang bilang peringatan Maulid Nabi itu tidak ada dalilnya, bukan dalilnya yang tidak ada tapi otak dan akal fikirnya orang itu yang KONSLET!!!!
(B) %$#^&*????????????

About kaifa10

Nothing Special about me

Posted on 23 Desember 2015, in Arsipku, Islam, Opiniku. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar